JAKARTA, AKSARA.News – Menanggapi rilis “Tujuh Desakan Darurat Ekonomi” oleh Aliansi Ekonom Indonesia pada 9 September 2025, pemerintah menilai bahwa kritik tersebut merupakan bagian dari dinamika demokrasi dan masukan penting dalam proses perumusan kebijakan publik.
Rilis tersebut menyoroti perlambatan pertumbuhan upah riil, kualitas pertumbuhan ekonomi, dan risiko fiskal akibat sejumlah program sosial. Namun, untuk mendapatkan pemahaman yang utuh, kebijakan perlu dinilai dari konteks luas serta bukti empiris.
Sejak 2022, pertumbuhan ekonomi Indonesia stabil di kisaran 5 persen. Namun, manfaatnya belum dirasakan secara merata, terlihat dari kenaikan upah riil yang hanya sekitar 1,2 persen dan dominasi sektor informal dalam penciptaan lapangan kerja. Saat ini, Indonesia masih menghadapi tantangan besar: 7 juta pengangguran, 11 juta setengah pengangguran, dan 34 juta pekerja paruh waktu.
Kebijakan Presiden Prabowo yang fokus pada peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) dan penciptaan lapangan kerja formal dinilai sebagai respons yang relevan. Kebijakan ini juga telah mendapatkan legitimasi melalui hasil Pilpres 2024 dan diterjemahkan dalam UU RPJPN dan Perpres RPJMN.
Menanggapi kritik yang menyebut kebijakan pemerintah tidak berbasis teknokrasi, pemerintah menegaskan bahwa proses perumusan telah menggabungkan legitimasi politik dan pertimbangan teknis. Dalam kerangka teori kebijakan, input politik sah telah menghasilkan kebijakan publik yang terstruktur.
Salah satu kritik utama Aliansi Ekonom adalah alokasi 37,4 persen APBN 2026 atau sekitar Rp1.414 triliun untuk program seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), hilirisasi, subsidi energi, dan program Koperasi Desa. Program-program tersebut dinilai mengorbankan sektor pendidikan dan kesehatan.
Namun, pemerintah menegaskan bahwa MBG dan Sekolah Rakyat justru menyasar peningkatan kualitas SDM, terutama bagi kelompok miskin dan rentan. Studi menunjukkan bahwa akses terhadap gizi dan pendidikan yang layak dapat memutus rantai kemiskinan antargenerasi.
Contohnya, Sekolah Rakyat yang menyasar anak-anak dari desil 1 dan 2 telah memberikan fasilitas dasar seperti makanan bergizi, tempat tidur layak, dan akses teknologi. Model serupa di negara lain terbukti efektif mendorong mobilitas sosial dan memperluas kesempatan kerja formal.
Pemerintah juga menekankan bahwa program sosial seperti MBG memberikan dampak ganda (co-benefits), seperti penciptaan jutaan lapangan kerja baru di sektor logistik, pertanian, dan dapur produksi. Ini sejalan dengan pendekatan policy integration yang menghubungkan pendidikan, kesehatan, dan ketenagakerjaan.
Dari sisi fiskal, program-program ini masih dalam batas aman, dengan defisit APBN tetap di bawah 3 persen. Dalam pendekatan public value governance, negara tak hanya berperan menjaga efisiensi pasar, tapi juga menciptakan nilai publik.
Pemerintah mengingatkan bahwa dampak kebijakan sosial memerlukan waktu untuk terlihat. Membatalkan program di tengah jalan justru dapat menghilangkan potensi manfaat jangka panjang. MBG dan Sekolah Rakyat bukanlah bantuan sosial semata, melainkan fondasi pembangunan ekonomi inklusif dan tahan terhadap gejolak.
Dengan mengacu pada prinsip kebijakan publik, program-program sosial saat ini telah memenuhi tiga elemen utama: legitimasi politik (policy mandate), perancangan berbasis bukti (policy design), dan hasil yang diharapkan berupa peningkatan kualitas SDM serta penciptaan pekerjaan formal.
Pemerintah menegaskan bahwa memperbaiki kualitas pertumbuhan ekonomi bukan berarti menunda program sosial, melainkan mempercepatnya agar manfaat bisa dirasakan lebih luas. Kritik konstruktif tetap dihargai, namun kebijakan harus dilihat secara proporsional: program sosial bukan beban, tetapi investasi untuk masa depan ekonomi Indonesia yang adil dan berkelanjutan.
Comment